Monday 16 February 2015

Ketika Seorang Perempuan Berani untuk Menikah

Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah wajar ketika masing-masing mengunjukkan saling ketertarikanketertarikan, tetapi ketika ketertarikan itu sudah berpotensi bahaya maka sebaiknya langkah bijak harus segera dilaksanakan. 

Menikah adalah sunnah Rosul dan satu solusi terhebat dengan menjadikan potensi bahaya menjadi ladang pahala dan sebuah kenikmatan yang luar biasa. Ini adalah solusi konkret yang dicontohkan Rosul pada zaman dahulu. 

Ketika seorang perempuan memutuskanuntuk menikah dan mendampingi seorang laki-laki dalam hal ini berperan sebagai istri, hal-hal yang perlu disadari dan ditancapkan dalam hati diantaranya,

1. Status waktu masih perawan dan setelah menikah adalah berbeda. Harus ada inisiatif sendiri untuk merubah pola kehidupan sehari-hari, maka seorang suami akan merasa amat sangat beruntung memilikinya karena dengan tanpa arahan dia sudah tau apa yang diharapkan suami. Era terkini kebanyakan perempuan sekarang tidak sedikit yang tidak peduli dengan hal ini sehingga tak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah menikah. Kasus dalam hal ini contohnya adalah kebiasaan malas, mulai malas bangun pagi, nyuci, dll. Untuk membenarkan sendiri sikapnya kebanyakan perempuan berdalih "Kalau suaminya cinta berarti harus menerima semua positif negatif yang ada pada dirinya". Memang betul apa yang dikatakannya tetapi dia salah mengkategorikan aspek malas masuk pada sisi negatifnya, itu salah. Malas itu bukan sebuah kekurangan tetapi tidak lebih dari sebuah virus atau penyakit yang dalam hal ini harus dihindari. Dan ini harus disadari oleh perempuan jika ingin mendambakan keluarga yang harmonis. Penempatan diri dengan memposisikan diri sebagai seorang istri akan bisa melawan sikap egois ketika masih perawan atau sebelum menikah. Ini sangat berkaitan dengan adab seorang istri terhadap suami, bukan adab terhadap teman. 

Pada hakikatnya lelaki akan luluh dengan perempuan yang tahu bagaimana cara menperlakukan seorang laki-laki. 

2. Harus meninggalkan sikap individualis. Dalam hal ini untuk menjaga hubungan baik antara suami dengan keluarganya. Ini bukan sisi negatif dari seorang perempuan tetapi lebih kepada sebuah penyakit secara psikologis. Kondisi ini tetap bisa diperbaiki ketika ada kesadaran, ikhlas dan sabar. Ketika seorang perempuan berani menikah maka dia juga harus berani memperbaiki kondisi ini. 

Seorang suami akan rela sekuat tenaga untuk membantu istrinya demi mewujudkan cita-cita istri yang baik ini.

3. Sebenarnya seorang istri yang tahu betul hakikat dia sebagai seorang istri maka akan pantang baginya menyuruh-nyuruh suaminya untuk suatu hal. Maka dia harus tau bagaimana dia menjadi istri  yang taat.

Masih banyak sebenarnya yang harus diketahui namun setidaknya sedikit paparan ini menjadi landasan awal menjalani lembaran kehidupan baru sebuah keluarga. Maka kebaikan-kebaikan yang lain akan ikut menyusul dengan sendirinya menghampiri. Kuncinya adalah sadar, ikhlas dan sabar. Insyaallah Allah akan memudahkan segala urusannya. Amin...

2 comments: